Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com
Para pejabat tinggi dengan latar belakang kebudayaan Jawa mulai lagi ngomong Jawa di panggung (politik) nasional. Ini membuat saya teringat akan masa Orde Baru, ketika Soeharto meluncurkan kata gebuk, sampai begitu dikenal bagaikan sebuah kata dari bahasa Indonesia. Pada gilirannya, Joko Widodo menggunakan kata gebuk untuk maksud yang sama. Keduanya menyasar manuver politik "inkonstitusional", yang tentu saja akan dilakukan lawan politik mana pun tanpa harus menunggu jadwal pemilihan umum.
Saya kira, tidak semua manuver politik di luar forum resmi mesti disebut inkonstitusional, dan karena itu melanggar hukum, bukan? Partai politik ataupun lembaga non-politik memiliki-dan berhak menjalankan-proyek ideologisnya masing-masing. Namun kata gebuk itu menjadi ancaman terselubung, semacam tindakan preventif agar lawan politik mana pun mengurungkan "kreativitas yang tak diinginkan". Kata gebuk jelas membawa kode kekerasan, dan ini lebih layak mengundang kepedulian daripada sekadar menggugatnya sebagai kata yang kasar dan melanggar etiket kesantunan seorang pejabat publik.
Ini perlu saya sebutkan karena kode kekerasan juga terhadirkan melalui kata-kata yang tampaknya saja tanpa masalah, seperti ungkapan yang digunakan Jokowi berikut: lamun sira sekti, aja mateni; meskipun dikau sakti, jangan membunuh. Dalam dirinya sendiri, ini hanyalah nasihat yang baik. Dalam konteks politik kontemporer, sangat kuat opsi tafsiran: meskipun saya mampu, saya tidak akan membunuhmu (tapi jangan coba-coba).
Teks berbahasa Jawa ini kelengkapannya bersambung dengan: lamun sira banter, aja ndhisiki (meski dikau cepat, jangan menyalip); lamun sira pinter, aja minteri (meski dikau pandai, jangan-digunakan untuk-mengecoh). Sama saja, nasihat ini secara tak langsung menunjukkan superioritas dalam kompetisi. Artinya, ujaran ini ditujukan kepada yang lebih kuat, lebih cepat, dan lebih pandai, alias sang pemenang, agar kebijakannya sempurna-apalagi jika diucapkan sendiri.
Dalam berita utama The Jakarta Post, "Jokowi’s power play: ‘Aja matèni’", dapat diikuti tanggapan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, yang disebut mendalami falsafah Jawa. Menurut dia, itulah cara Jokowi menggunakan bahasa perumpamaan untuk menyampaikan pesan langsung bahwa ia ingin merangkul lawan-lawan politiknya, karena dalam (budaya) politik Jawa tidak ada kemenangan absolut.
Jika dalam demokrasi keberadaan oposisi itu ideal, dalam politik Jawa, terdapatnya oposisi merupakan destabilisasi. Dalam pendapat Wasisto, jauh di lubuk hatinya (in his heart of hearts), Jokowi tidak ingin punya oposisi sama sekali, karena akan menciptakan "dua matahari" dan mengurangi daya kekuasaannya. Peluncuran teks berbahasa Jawa, lengkap dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia, itu disebut untuk menguji dan mengukur reaksi publik tentang bergabungnya oposisi dalam koalisi (Tehusijarana, 24 Juli 2019: 1).
Dari wacana ini terdapat beberapa masalah. Pertama, seberapa jauh "bahasa (politik) misterius" perlu ditanggapi dengan cara menebak-nebak apa maksudnya, jika dalam sistem politik terbaik, keterbukaan, kejelasan, ketegasan, dan kepastian jauh lebih mangkus dan sangkil daripada kata-kata bersayap tanpa argumentasi yang hanya memancing sensasi?
Kedua, seberapa jauh peluncuran teks bergambar Gatotkaca di dunia maya ini perlu disahihkan sebagai bahasa politik Jokowi, yang "ngomong secara tidak langsung sesuai dengan ke-jawa-annya", dan dengan itu menjadi sahih pula ditanggapi secara politis, baik yang diplomatis, oportunis, maupun "mendadak akademis"?
Ketiga, jika memang benar-dan semoga tidak benar-Jokowi dengan penuh kesadaran "memainkan Jawa" dalam politik Indonesia, bagaimanakah hal itu perlu diterima; dan tidakkah sebaliknya, lebih baik memberi peringatan, betapa kebijakan (budaya) politik terbaik sebagai presiden tentulah mengutamakan keindonesiaan di atas ke-jawa-an dan seterusnya?
Persoalannya, segala sesuatu yang berbau Jawa-ketika identitas "Jawa" masih terus terbongkar-telah menjadi kelewat eksotis dalam perbincangan politik. Hal itu sampai melahirkan simpulan yang genit dan kenes, dalam "pembuktian" bahwa segenap taktik dan strategi politik Jokowi bersumber dari ujaran semacam nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa pasukan) ataupun menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan).
Peristiwa dramatis dalam dunia politik sering lebih mahal harga sosial-ekonominya daripada jika berlangsung, misalnya, dalam ilmu susastra, yang seperti menjadi tempat lebih baik untuk membedahnya. Dalam konteks politik, prasangka arogansi Jawa sebagai kebudayaan terbaik, tercanggih, terdalam, terhalus, dan paling maju di antara budaya-budaya lain di Indonesia, akan sangat mudah dijangkitkan-dan ini berarti pemitosan Jawa sebagai manuver politik menjadi kontraproduktif.